Urbanisasi
Seperti di negara sedang berkembang
lainnya, berbagai kota besar di Indonesia berada dalam tahap pertumbuhan
urbanisasi yang tinggi akibat laju pertumbuhan ekonomi yang pesat sehingga
kebutuhan penduduk untuk melakukan pergerakan pun menjadi semakin meningkat.
Mobil sebagai kendaraan pribadi sangat menguntungkan, terutama dalam hal
mobilitas pergerakannya. Jumlah penduduk yang tinggal di daerah perkotaan di
Indonesia diperkirakan meningkat dari tahun ke tahun akibat tingginya tingkat
urbanisasi ini.
Tantangan bagi pemerintah negara
sedang berkembang, dalam hal ini instansi dan departemen terkait serta para
perencana transportasi perkotaan, adalah masalah kemacetan lalu lintas serta
pelayanan angkutan umum perkotaan. Masalah kemacetan ini biasanya timbul pada
kota yang penduduknya lebih dari 2 juta jiwa, yang sampai tahun 1996 telah
dicapai oleh beberapa kota di Indonesia, seperti DKI-Jakarta, Surabaya,
Medan, Bandung, dan Yogyakarta.
Pada akhir tahun 2000, diperkirakan
kemacetan akan terjadi di beberapa kota lain seperti Semarang, Palembang, Ujung
Pandang, Bogor, disusul kemudian oleh kota Malang dan Bandar Lampung. Sementara
pada tahun 2020, hampir semua ibukota propinsi di Indonesia akan dihuni oleh
sekitar 2 juta jiwa, yang berarti pada dasawarsa tersebut para pembina daerah
perkotaan akan dihadapkan pada permasalahan baru yang memerlukan solusi yang
baru pula, yaitu permasalahan
transportasi perkotaan. Walaupun kota yang lebih kecil juga mempunyai masalah
transportasi yang perlu pemecahan secara dini, pada umumnya masih dalam skala
kecil dan tidak memerlukan biaya besar.
Sektor pertanian konvensional secara
perlahan terlihat semakin kurang menarik, dan tidak lagi diminati, terutama
oleh generasi muda. Di sisi lain, perkotaan menawarkan banyak kesempatan, baik
di sektor formal maupun informal. Ditambah lagi dengan tidak meratanya pertumbuhan
wilayah di daerah pedalaman dibandingkan dengan di daerah perkotaan. Hal ini
menyebabkan tersedianya banyak lapangan kerja serta upah atau gaji yang tinggi
di daerah perkotaan dibandingkan dengan di daerah pedalaman. Semua ini
merupakan daya tarik yang sangat kuat bagi para pekerja didaerah pedalaman.
Pepatah mengatakan ada gula, ada semut.
Namun, sebesar apa pun kota dengan
segalakelengkapannya, pasti mempunyai batasan, yaitu daya tampung. Jika batas
tersebut sudah terlampaui, akan terjadi dampak yang merugikan. Dalam konteks
kota di Indonesia, fenomena kota bermasalah sudah mulai terlihat, yang
diperkirakan akan terus berkembang menjadi persoalan yang semakin rumit, seiring
dengan tingginya laju urbanisasi. Hal ini sulit dihindari karena daerah perkotaan
sudah terlanjur dianggap sebagai penyedia berbagai macam lapangan pekerjaan.
Tingginya urbanisasi secara tidak
langsung dapat dikatakan akibat tidak meratanya pertumbuhan wilayah di
Indonesia; antara daerah pedalaman dengan daerah perkotaan. Semakin besarnya
perbedaan antara tingkat pertumbuhan wilayah tersebut menyebabkan semakin
tingginya tingkat urbanisasi, yang pada gilirannya akan menimbulkan beberapa permasalahan
perkotaan, khususnya transportasi.
Orang yang melakukan urbanisasi
dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok utama, yaitu
a) orang yang mampu membeli tanah di
dalam kota dan bekerja di dalam kota;
b) orang yang bekerja di dalam kota,
tetapi tinggal di pinggiran kota serta mampu membayar biaya transportasi; dan
terakhir
c) orang yang tidak mampu membeli
tanah di dalam kota dan tidak mempunyai kemampuan untuk membayar biaya
transportasi.
Orang yang termasuk pada kelompok
pertama tidak akan menyebabkan permasalahan yang berarti dalam hal mobilitas
dan aksesibilitas karena jarak antara tempat tinggal dengan tempat bekerja yang
cukup dekat. Orang yang tergolong pada kelompok kedua, yang persentasenya
tertinggi di antara ketiga kelompok tersebut, sangat potensial menimbulkan permasalahan
transportasi. Permasalahan tersebut terjadi setiap hari, yaitu pada jam sibuk pagi
dan sore hari. Pada jam sibuk pagi hari terjadi proses pergerakan dengan volume
tinggi, bergerak ke pusat kota untuk bekerja. Pada sore hari terjadi hal yang
sebaliknya karena semua orang kembali ke rumahnya masing-masing.
Permasalahan
transportasi semakin bertambah sejalan dengan semakin bergesernya permukiman
kelompok berpenghasilan menengah ke bawah ini jauh ke pinggir kota. Kecenderungan
ini terus berlangsung sejalan dengan semakin pentingnya daerah perkotaan yang
menyebabkan harga tanah semakin mahal.
Kelompok terakhir adalah kelompok
yang tidak mampu membeli tanah di dalam kota serta tidak mampu pula membayar
biaya transportasi sehingga terpaksa menempati ruang kosong di seputar kota
secara ilegal. Implikasi yang timbul seterusnya adalah masalah permukiman kumuh
yang bukan saja menyangkut masalah transportasi, tetapi sudah mengarah kepada masalah
sosial, kesehatan, kejahatan, pendidikan, dan lain-lain.
Sumber:(digilib.itb.ac.id/files/disk1/37/jbptitbpp-gdl-grey-2000-02harunalr-1845-2000_gl_-2.pdf)
TANTANGAN DAN PEMECAHAN MASALAH SEKTOR TRANSPORTASI DI INDONESIA: SUMBANGAN PEMIKIRAN ITB